Ayah: Andrea Hirata dan Hiperbola Cinta yang Menikam
Barangkali saya tidak salah jika menyebut Andrea Hirata sebagai penulis dengan napas hiperbolis. Sebuah kecenderungan yang selalu muncul dalam karyanya, termasuk dalam Ayah. Tapi kali ini, hiperbola itu tak sekadar penghias. Ia menikam lebih dalam, lebih melankolis, dan lebih sentimental.
Menilik Ayah, saya sempat terkecoh di awal. Judulnya sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu, Andrea menghamparkan kisah cinta yang tak biasa. Kisah Sabari, seorang lelaki yang cintanya begitu teguh dan hampir absurd, mencintai Marlena dengan segenap keberadaannya. Seperti biasa, Andrea menjahit cerita dengan humor yang renyah, kisah yang pilu, dan sindiran-sindiran tajam pada berbagai fenomena sosial.
Sejak halaman pertama, saya merasakan getaran yang sama dengan Laskar Pelangi, tapi lebih pekat. Andrea masih menampilkan dunia kecil yang hangat di Belitong, masih menggambarkan tokoh-tokoh yang naif dan polos, tapi kali ini dengan tragedi yang lebih kental. Sabari, sebagai tokoh utama, adalah gambaran cinta yang mungkin sulit kita pahami dengan akal sehat. Ia bukan Arai yang liar dan penuh mimpi. Ia bukan Lintang yang brilian dan penuh harapan. Ia adalah lelaki yang terjebak dalam perasaannya sendiri, cinta yang nyaris seperti kutukan.
Andrea masih setia dengan gaya bertuturnya: hiperbolis, dramatik, dan sesekali bombastis. Seperti biasa, kita akan menemukan kalimat-kalimat panjang yang berputar-putar seperti labirin, tapi entah kenapa, tetap saja menarik untuk dibaca. saya suka bagaimana Andrea menuturkan kisah ini dengan pola penceritaan yang tetap ringan meski mengandung tragedi. Ia tak lantas membebani pembaca dengan kepedihan yang menyesakkan, melainkan menghidangkannya dengan humor-humor khas Melayu yang membuat kita tersenyum getir.
Salah satu kutipan yang menggugah dalam novel ini adalah:
“Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, boi.” – Andrea Hirata, Ayah
Kutipan ini seakan menjadi renungan tentang siklus kehidupan yang tak bisa kita hindari. Andrea Hirata, dengan gaya bahasanya yang khas, mengajak kita merenungi bahwa hidup selalu berputar dalam siklus yang sama: ada awal, ada perjalanan, dan ada akhir. Kita lahir, kita menjalani kehidupan dengan segala dinamikanya, dan kita akan mati. Hal yang sama berlaku pada perasaan manusia—ada benci, ada cinta, dan akhirnya semua akan kembali pada kefanaan.
Namun, Ayah bukan tanpa cela. Ada satu pola dalam penulisan Andrea yang makin ke sini makin terlihat seperti repetisi: bab berfragmen, deskripsi yang berlebihan, dan pengulangan-pengulangan metafora yang terasa dipaksakan. Saya menangkap ada unsur magical realism yang mencoba disematkan dalam beberapa bagian cerita, seolah Andrea mulai terpengaruh oleh Gabriel Garcia Marquez. Namun, alih-alih memperkaya, justru membuatnya terasa kurang matang.
Tapi yang paling menarik dari Ayah adalah bagaimana Andrea mengemas tokoh-tokohnya. Marlena, misalnya. Perempuan yang menjadi pusat segala kekacauan dalam hati Sabari ini digambarkan dengan begitu dingin, begitu tak tersentuh, hingga saya sendiri frustrasi membacanya. Dan Amiru, anak hasil hubungan Marlena dengan lelaki lain, menjadi simbol luka yang tak terkatakan bagi Sabari.
Pada akhirnya, Ayah tetaplah Andrea Hirata. Sebuah novel yang tetap memiliki daya magis, tetap mengundang tawa di sela air mata, dan tetap membawa kita pulang ke Belitong. Mungkin, ini bukan karya terbaiknya. Tapi, siapa saya dan kamu untuk menilai sebuah kisah cinta yang begitu tak terbandingkan seperti ini? Apakah cinta memang selalu butuh logika?
Bagaimana menurutmu? Pernahkah kamu mencintai seseorang dengan segenap jiwa, tapi tetap tak mampu memilikinya?
Dapatkan bukunya di sini: Goodreads.com
Baca juga:
bagus
memang bagus