Burnout di Usia 20-an

burnout di usia 20-an

Burnout di Usia 20-an

“Kita ini manusia, bukan mesin. Tapi kenapa rasanya hidup menuntut kita terus berjalan tanpa rem?”

Aku lupa kapan terakhir kali benar-benar merasa istirahat. Maksudku, bukan sekadar rebahan sambil scroll TikTok atau nonton serial sampai mata berat. Tapi istirahat yang beneran bikin hati dan kepala tenang. Kayaknya, sejak masuk usia 20-an, hidup rasanya kaya game yang levelnya makin sulit, tapi energinya gak pernah diisi ulang.

“Aku baik-baik saja.” Begitu katamu, tapi matamu nyaris padam.

Aku tahu rasanya.
Bangun pagi dengan tubuh yang masih terjebak di malam sebelumnya. Lelah yang tak kunjung surut meski sudah tidur berjam-jam. Rasanya seperti berlari di atas treadmill kehidupan—bergerak, tapi tak benar-benar sampai ke mana-mana.

Usia 20-an itu katanya masa keemasan. Masa ketika dunia terbuka lebar, kesempatan datang silih berganti, dan kita hanya perlu melangkah untuk meraihnya. Tapi kenapa, setiap langkah justru terasa seperti menyeret beban yang tak terlihat?

Kamu juga merasakannya, kan?

Rutinitas yang membunuh pelan-pelan. Tugas yang datang bertubi-tubi. Harapan orang lain yang terasa lebih berat dari beban yang kamu tenteng di pundak. Ditambah ketakutan yang berbisik di kepala—tentang gagal, tentang tertinggal, tentang tidak cukup baik.

Di usia ini, kita terjebak di antara “harusnya” dan “maunya”. Harusnya sudah mapan, harusnya sudah punya rencana, harusnya sukses, harusnya ini, harusnya itu. Tapi maunya? Maunya istirahat sejenak, menarik napas, menemukan kebahagiaan di tengah semua ini tanpa merasa bersalah.

Aku pernah mengabaikan rasa lelah itu. Kupikir, kalau aku terus bergerak, rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya, tubuh dan pikiranku punya batasnya. Burnout datang tanpa aba-aba, membuatku tersungkur dalam rasa jenuh yang mencekik.

Hari-hari berlalu tanpa makna. Aku mengerjakan sesuatu hanya karena harus, bukan karena ingin. Hal-hal yang dulu menyenangkan kini hanya terasa seperti kewajiban. Aku duduk diam, menatap layar, berharap motivasi datang seperti hujan di musim kemarau. Tapi nyatanya, aku hanya semakin kering.

Kamu tahu? Tidak apa-apa untuk merasa lelah. Tidak apa-apa untuk melambat.

Aku paham, dunia ini tak memberi ruang untuk orang-orang yang ingin berhenti sejenak. Tapi kalau terus dipaksa, kita akan terbakar lebih cepat, habis sebelum waktunya. Jadi, biarkan dirimu istirahat. Tarik napas panjang. Tutup mata sejenak.

Hidup bukan tentang berlari paling cepat. Tapi tentang bagaimana kita tetap menyala, tanpa harus terbakar habis.


Baca juga:


 

2 Comments

  1. rejariku

    Pertama kali baca dan sudah sejatuh cinta ini dengan tulisannyaaaa🫶🏻

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *