Cerpen – Derap Sepatu di Jalan Sunyi

Cerpen - Derap Sepatu

Derap Sepatu di Jalan Sunyi

Hujan turun perlahan sore itu, membasahi jalan kecil yang sunyi di pinggiran kota. Jalan itu hanya dilalui segelintir orang, kebanyakan mereka yang punya urusan penting atau sekadar ingin memotong waktu tempuh ke tujuan. Di tepinya, pohon-pohon rimbun berjejer bak pengawal tua yang diam membisu, menyisakan keteduhan dan ketenangan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sebuah cerita yang belum selesai. Sebuah kisah yang setiap sore bergaung bersama derap sepatu.

Di tengah hujan yang mulai reda, seorang perempuan muda muncul di ujung jalan. Langkahnya teratur, cepat, dan berirama. Derap sepatu hitamnya yang sedikit usang menghantam jalanan basah. Perempuan itu bernama Rena, seorang pekerja kantoran berusia 27 tahun. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam — seolah menyembunyikan banyak cerita yang belum sempat diceritakan.

Setiap hari, sepulang kerja, Rena selalu memilih melewati jalan ini. Entah apa yang membuatnya begitu setia. Mungkin karena ketenangan, mungkin karena jalan ini membawanya kembali pada sesuatu yang pernah hilang.

“Selalu begini, ya? Sepi sekali,” gumam Rena sambil mengangkat wajahnya ke langit. Rintik hujan membasahi pipinya.

Tiba-tiba, langkahnya berhenti di bawah pohon besar yang sudah lama berdiri kokoh di pinggir jalan. Ia menatap akar-akar pohon itu, lalu tersenyum kecil. Sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon, ia membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku bersampul lusuh. Buku itu adalah buku harian milik adiknya, Nanda.

Empat tahun lalu, Rena sering melewati jalan ini bersama Nanda, adiknya yang hanya berjarak tiga tahun lebih muda darinya. Nanda adalah gadis periang, penuh energi, dan selalu punya cara membuat dunia terlihat lebih berwarna. Namun suatu hari, tepat di jalan ini, kecelakaan terjadi. Sebuah mobil yang melaju kencang tak sengaja menyambar Nanda yang tengah bercanda sambil berjalan mundur.

“Kak, lihat nih, aku bisa jalan mundur kayak orang di film-film!” seru Nanda saat itu sambil tertawa lepas.

Rena hanya tertawa kecil dan terus berjalan, tidak menyadari bahwa detik-detik berikutnya akan menjadi momen paling kelam dalam hidupnya.

Buku harian di tangan Rena dibuka perlahan. Halaman demi halaman penuh tulisan tangan kecil yang rapi, berisi impian dan cerita sehari-hari Nanda.

“Hari ini Kak Rena ngajak aku lewat jalan sunyi lagi. Aku suka jalan itu. Adem, sepi, tapi seru! Kadang aku pura-pura jadi petualang, kadang aku pura-pura jadi detektif. Aku mau jadi orang hebat suatu hari nanti.”

Rena menghela napas panjang. Hatinya seperti diremas setiap kali membaca tulisan itu. Sejak kepergian Nanda, ia merasa bersalah, merasa seharusnya bisa mencegah semua itu. Rasa itu menggerogoti dirinya, menjadi alasan mengapa ia tetap berjalan di jalan ini setiap hari, seolah sedang mencari sesuatu yang bisa meredakan lukanya.

“Kak, nggak usah sedih terus, dong. Aku pasti marah kalau lihat Kakak begini,” gumam Rena, menirukan suara Nanda sambil menatap jalanan kosong di depannya.

Tiba-tiba, sebuah suara langkah sepatu lain terdengar samar dari arah belakang. Rena menoleh cepat. Seorang pria tua dengan payung hitam sedang berjalan pelan, mendekatinya. Pria itu tersenyum ramah.

“Hujannya sudah hampir berhenti, Nak. Mau jalan bareng?” tanyanya.

Rena hanya mengangguk kecil. Mereka berjalan berdampingan, namun tetap dalam diam. Derap sepatu mereka beriringan di antara rintik hujan yang mulai mereda.

“Kamu sering lewat sini?” tanya pria itu setelah beberapa menit.

“Iya, Pak. Setiap hari sepulang kerja,” jawab Rena singkat.

“Jalan ini punya banyak cerita, ya. Pohon-pohon ini, udara ini… rasanya menyimpan kenangan banyak orang. Kamu pun begitu, kan?”

Rena menoleh, sedikit terkejut.

“Kenapa Bapak bilang begitu?”

Pria itu hanya tersenyum samar. “Kadang, kita memilih jalan sunyi karena di sana ada sesuatu yang bisa kita dengar lebih jelas. Suara kenangan, suara hati kita sendiri.”

Kata-kata itu menusuk tepat di dada Rena. Pria itu melanjutkan langkahnya perlahan, meninggalkan Rena yang masih berdiri mematung. Tanpa sadar, Rena meneteskan air mata. Ia sadar, selama ini ia tidak pernah benar-benar mengizinkan dirinya untuk melepaskan. Ia terlalu takut jika memaafkan diri sendiri berarti melupakan Nanda.

“Aku nggak akan pernah lupa,” bisik Rena pada dirinya sendiri.

Ia memejamkan mata, merasakan udara sejuk yang berembus lembut di wajahnya. Kali ini, derap sepatu di jalan sunyi itu tidak lagi terdengar begitu berat. Langkah-langkah Rena terasa lebih ringan, seolah ada tangan kecil yang menggenggam jemarinya dari jauh.

“Aku akan terus melangkah. Kamu pasti senang lihat aku begini, kan, Nanda?”

Hujan berhenti sepenuhnya, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Matahari sore mulai mengintip malu-malu dari balik awan. Rena melanjutkan langkahnya, meninggalkan jalan sunyi itu dengan senyum kecil yang tak pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.

Derap sepatu itu masih bergaung di antara pohon-pohon tua. Kali ini, derap itu membawa sebuah janji: bahwa luka lama tidak lagi menjadi belenggu, tetapi menjadi bagian dari perjalanan untuk terus melangkah ke depan.

Kendari, 2024


Ilustrasi: DALL-E

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *