Cerpen – Kikis Senja

Kikis Senja

Kikis Senja

Langit sore itu melukiskan rona jingga yang memudar pelan-pelan, seperti cat air yang larut terkena tetes hujan. Sinar matahari yang hangat merambat di antara dedaunan tua, menciptakan bayangan panjang di tanah. Di sebuah bangku taman yang mulai termakan waktu, duduk seorang pria tua dengan topi jerami lusuh yang menaungi wajah keriputnya. Namanya Danu, seorang seniman yang pernah dikenal luas, tetapi kini hanya menjadi nama samar dalam ingatan orang.

Di hadapannya, terletak sebuah kanvas kosong yang telah lama menunggu sentuhan kuasnya. Namun, kuas itu tak kunjung bergerak. Ia hanya memandangi senja, seperti mencari sesuatu yang telah lama hilang.

“Kakek,” suara lembut seorang gadis remaja memecah keheningan. Naira, cucunya, datang membawa secangkir teh hangat. “Sudah seharian di sini. Kenapa kanvasnya masih kosong?” tanyanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di sebelah bangku.

Danu tersenyum tipis. “Kadang, Naira, senja terlalu indah untuk dilukis. Rasanya seperti mencoba menangkap angin di tanganmu. Apa pun yang kulakukan, hasilnya takkan pernah seindah aslinya.”

Naira mengerutkan dahi. “Bukankah itu tugas seorang seniman? Menciptakan sesuatu yang bisa membuat orang lain merasa seindah yang kita lihat?”

Pria tua itu tertawa kecil, suara yang serak namun hangat. “Kau benar. Tapi senja… ah, senja ini berbeda.” Ia mengalihkan pandangannya kembali ke langit. “Setiap kali aku mencoba melukisnya, aku merasa ada yang hilang. Bukan dari senja itu, tapi dari diriku sendiri.”

Naira duduk di samping kakeknya. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar senja yang tak terlukis. “Apa yang kakek rasa hilang?”

Danu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Dia.” Hanya satu kata, tetapi beratnya terasa memenuhi udara di antara mereka.

“Nenek?” tebak Naira.

Danu mengangguk pelan. “Dulu, dia yang selalu menemaniku melukis. Dia yang selalu memberiku alasan untuk menyelesaikan setiap lukisan. Tanpanya, senja ini hanya… kikis. Seperti warna yang memudar di ujung hari.”

Naira memandangi kakeknya dengan mata yang penuh pengertian. Ia tidak pernah bertemu neneknya, tetapi ia sering mendengar cerita tentang sosok wanita itu – seorang perempuan yang mencintai senja sama seperti Danu mencintai melukis.

“Kakek tahu? Nenek pasti ingin kakek tetap melukis senja, apa pun rasanya sekarang.”

Danu tersenyum, kali ini lebih lebar. “Kau benar, Naira. Mungkin aku terlalu banyak terjebak di masa lalu. Nenekmu selalu bilang, senja itu bukan soal apa yang berakhir, tapi soal bagaimana kita menerima akhir dengan keindahan.”

Dengan tangan yang mulai gemetar karena usia, Danu meraih kuasnya. Ia mencelupkan ujungnya ke dalam cat jingga yang terang. Sentuhan pertama di kanvas terasa seperti pertemuan lama dengan seorang teman yang dirindukan. Ia mulai melukis, membiarkan warna jingga, merah, dan ungu bertemu di permukaan putih itu.

Naira memperhatikan dengan takjub. Meski gerakan Danu tak lagi secepat dulu, setiap goresannya memiliki jiwa, seolah kanvas itu berbicara dalam bahasa senja.

Ketika lukisan itu hampir selesai, Danu berhenti sejenak. Ia menatap hasil karyanya, lalu menambahkan sesuatu yang kecil namun berarti di sudut kanvas – dua siluet kecil, duduk berdampingan di bangku taman, memandangi senja.

“Itu nenek dan kakek?” tanya Naira.

Danu mengangguk. “Ya, itu kami. Dan kini, setiap senja, aku akan selalu merasa dia ada di sini. Dalam setiap warna yang memudar, dalam setiap bayangan yang jatuh di tanah.”

Naira tersenyum, merasakan hangatnya cinta yang melampaui waktu. Senja memang memudar, tetapi kenangan tidak pernah benar-benar hilang. Dan di tangan seorang seniman seperti Danu, senja yang kikis pun dapat hidup selamanya di atas kanvas.

Hari itu, ketika matahari akhirnya tenggelam, Danu dan Naira duduk bersama, memandangi lukisan yang kini memancarkan keindahan bukan hanya dari warna, tetapi juga dari hati yang menciptakannya. Senja telah selesai, tapi kisahnya akan tetap ada, terpatri dalam setiap goresan dan dalam setiap kenangan.


           Ilustrasi: Early Moonrise (Florida), dari WikiArt.org.

Baca Juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *