Mimbar Penghakiman
Siluet itu berdiri angkuh di tengah ruangan. Bayangannya memanjang hingga menyentuh kaki kursi kayu yang terletak di sudut. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba menakar bobot kebenaran yang ia bawa.
“Namamu?” tanya suara berat dari arah podium.
Aku menggenggam kuat sisi meja di depanku. “Arga.”
Hening menyergap ruangan, membuat suasana terasa semakin menekan. Di tempat ini, waktu seakan tak lagi bergerak sesuai kehendak manusia. Detik mengendap-endap seperti pencuri, menyeret tubuhnya perlahan. Semua mata tertuju ke depan, ke arah mimbar yang menjulang. Sebuah lampu kecil menggantung tepat di atasnya, menciptakan sorotan terang yang menusuk pandangan siapa pun yang berdiri di bawahnya. Di balik podium itu, suara menggelegar mengisi ruangan seperti bunyi petir di malam yang lengang.
“Arga… Apakah kau tahu mengapa kau dipanggil ke sini?”
Aku menarik napas panjang, meskipun udara terasa berat, mengendap di dada seperti beban yang tak kasatmata.
“Aku… tidak tahu,” jawabku pelan.
Suara itu tertawa, pendek tetapi menyayat. “Semua yang datang ke sini berkata demikian. Lucu sekali, kalian manusia. Selalu berpura-pura tak tahu ketika dosa kalian dihadapkan.”
Dosa? Dadaku berdebar keras. Apa yang telah kulakukan?
Seseorang berdiri di sampingku. Tangannya yang kurus membawa gulungan kertas. Dengan perlahan, ia membuka gulungan itu, seolah menikmati setiap gesekan antara kulit dan kertas yang membuat suasana semakin mencekam.
“Arga,” katanya dengan nada datar, “kau diadili atas tuduhan pengkhianatan.”
Pengkhianatan? Aku tertegun. Kata itu terasa asing tetapi menusuk seperti belati yang baru saja diasah.
“Apa maksudnya?” tanyaku, menoleh ke arah lelaki itu. Wajahnya kosong, tanpa emosi, tanpa harapan. “Aku tak pernah mengkhianati siapa pun!”
Ia tak menjawab. Sebaliknya, gulungan itu ia serahkan kepada seseorang yang duduk di kursi tinggi di balik podium. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sorot lampu terlalu terang, tetapi aku tahu bahwa orang itu sedang menatapku tajam, menusuk ke dalam pikiranku.
“Kau berani membantah tuduhan?” tanya suara berat itu.
“Karena aku tidak bersalah,” jawabku, mencoba tegar meskipun tubuhku mulai gemetar.
Sebuah tawa kembali terdengar. Kali ini lebih panjang, lebih menusuk seperti tombak yang menghujam. “Ah, manusia. Selalu merasa dirinya benar. Baiklah, kita lihat sejauh mana keberanianmu mempertahankan kebohongan itu.”
Tiba-tiba, sebuah layar besar muncul di sisi ruangan. Di atasnya, bayang-bayang bergerak membentuk potongan-potongan peristiwa. Aku melihat diriku sendiri, berdiri di depan sebuah rumah. Di sana, seseorang memelukku erat. Wajahnya samar, tetapi aku tahu siapa dia.
“Itu… itu bukan pengkhianatan,” gumamku, mencoba menyangkal apa yang kulihat.
“Benarkah?” tanya suara itu, penuh sindiran. “Kau meninggalkan seseorang untuk yang lain. Apa itu bukan pengkhianatan?”
“Itu…” Aku kehilangan kata-kata. Bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tak kumengerti sepenuhnya?
“Masih ingin membantah?”
Aku terdiam. Bayangan di layar terus bergerak, menampilkan potongan-potongan lain yang bahkan tak kuingat lagi. Setiap adegan menelanjangi bagian diriku yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
“Kau bukan hanya pengkhianat,” kata suara itu lagi. “Kau pengecut. Melarikan diri dari tanggung jawab. Apa kau lupa bagaimana kau meninggalkan janji-janji yang pernah kau buat?”
“Kupikir aku melakukan yang benar,” bisikku dengan nada penuh keraguan.
“Benar? Apa yang benar menurutmu belum tentu benar menurut orang lain. Kau lupa itu, Arga.”
Aku tak bisa menjawab. Kata-kata itu menusuk terlalu dalam, membuatku lumpuh.
“Baiklah,” suara itu melanjutkan, “kau masih punya kesempatan untuk membela diri. Katakan pada kami, apa alasanmu melakukan semua itu?”
Aku mengangkat kepala, mencoba mencari kekuatan dalam tatapan mata mereka yang duduk mengelilingi ruangan. Wajah-wajah mereka tak dapat kubaca. Seperti patung, dingin dan tak bernyawa.
“Aku…” Aku menarik napas panjang. “Aku hanya manusia.”
“Dan itu alasanmu?”
“Tidak!” Aku memukul meja di depanku. “Tapi aku hanya mencoba bertahan. Aku hanya ingin bahagia!”
Tiba-tiba ruangan menjadi sunyi. Suara berat itu tak lagi terdengar. Lampu yang menggantung di atas podium berayun perlahan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding seperti bayang-bayang dosa yang menari-nari.
“Kebahagiaan,” suara itu akhirnya kembali terdengar, kali ini lebih pelan tetapi tetap penuh wibawa. “Kebahagiaanmu mengorbankan orang lain. Apakah itu adil?”
“Aku tidak bermaksud begitu,” jawabku dengan suara bergetar, penuh penyesalan.
“Tapi kau melakukannya.”
Aku menunduk. Tak ada lagi yang bisa kukatakan.
“Arga,” suara itu kembali memanggil namaku, lebih lembut kali ini. “Apa kau tahu tempat apa ini?”
Aku menggeleng pelan, mencoba memahami makna dari setiap kata yang ia lontarkan.
“Ini adalah Mimbar Penghakiman,” katanya. “Tempat di mana setiap manusia akan diadili, bukan oleh kami, tetapi oleh dirinya sendiri.”
Aku mengangkat kepala, menatap ke arah podium. Kata-katanya menyentuh sesuatu yang selama ini kusimpan jauh di dalam hatiku.
“Jadi, apa kau merasa pantas untuk dimaafkan?” tanyanya.
Aku terdiam. Pertanyaan itu terus menggema di kepalaku, menciptakan riak yang tak kunjung berhenti.
“Pantas atau tidak,” aku akhirnya berkata, “aku hanya bisa berharap.”
Sebuah senyuman tipis muncul di sudut bibir lelaki yang duduk di podium. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dengan wibawa yang tak tergoyahkan.
“Pengadilan selesai.”
Tiba-tiba semua menjadi gelap. Suara derap langkah memenuhi ruangan, tetapi aku tak bisa melihat apa-apa.
Ketika cahaya kembali, aku berdiri sendirian. Mimbar, kursi, layar—semuanya lenyap. Hanya ada aku dan sebuah pintu kecil di ujung ruangan.
Aku melangkah menuju pintu itu, tak tahu apa yang menungguku di baliknya. Namun, untuk pertama kalinya, aku merasa bebas. Aku telah berdamai dengan diriku sendiri.
Ilustrasi: DALL-E
Baca juga: