Fiksi Mini – Catatan Merah

Catatan Merah

Catatan Merah Penyambung Lidah di Bayang Semu

Kabar itu terhantam angin, memekakkan telinga siapa pun yang mendengar. Di ujung gang sempit bernama Bayang Semu, warung kopi Mak Wati menjadi saksi bagi bisik-bisik gelap yang terus mengalir.

Hari itu, Pak Mulyadi, si ketua RT, tampak tergesa. Tangannya menggenggam selembar kertas penuh coretan merah. “Siapa lagi yang menyebar fitnah ini?” desisnya, gusar.

Surat tanpa nama itu selalu muncul saban Jumat. Tulisan tangan dengan tinta merah, isinya menyerang warga Bayang Semu satu per satu. “Mbak Reni punya utang segunung,” bunyinya pekan lalu. Sebelumnya, “Pak Sastro tukang tipu dana arisan.” Dan kini, nama Pak Mulyadi sendiri yang tercatat. Tuduhan korupsi uang warga terpampang jelas di kertas yang ditempel di tiang listrik tengah gang.

Warga gelisah. Bisikan berubah menjadi tudingan, tudingan menjadi amarah. Si pelaku tak pernah tertangkap. Tapi, setiap kalimat merah itu berhasil membakar kebencian.

“Kita harus temukan siapa pelakunya!” teriak Pak Mulyadi di tengah rapat darurat. Wajahnya memerah, seperti tinta di surat itu.

Malamnya, di balik pintu kayu warung Mak Wati, seorang anak lelaki memeluk erat buku tulisnya. Tinta merah di tangannya masih basah. Dia menatap halaman terakhir buku itu, penuh tulisan yang belum selesai: “Karena lidahku kelu, aku memilih menulis. Karena mereka tuli, aku memilih berteriak dengan catatan ini.”

Senyum kecil mengembang di bibirnya. Kegelapan malam menjadi sahabatnya, seperti biasa.


Ilustrasi: DALL-E

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *