Pingkan Melipat Jarak: Ketika Waktu dan Kenangan Menjadi Labirin

pingkan melipat jarak

Pingkan Melipat Jarak: Ketika Waktu dan Kenangan Menjadi Labirin

Sapardi Djoko Damono selalu punya cara istimewa dalam menyulam kata, menjadikannya jembatan antara realitas dan imajinasi. Dalam Pingkan Melipat Jarak, buku kedua dari trilogi Hujan Bulan Juni, Sapardi mengajak kita menelusuri perjalanan cinta Pingkan dan Sarwono yang kerap terhimpit jarak, baik dalam arti geografis maupun emosional. Namun, yang paling menarik dari buku ini bukan sekadar kisah cinta itu sendiri, melainkan bagaimana Sapardi mengulik makna waktu dan kenangan sebagai entitas yang berkelindan dalam kehidupan manusia.

Waktu yang Kita Ciptakan Sendiri

Salah satu kutipan yang mencolok dalam novel ini berbunyi:

“Orang bergerak menyusuri waktu yang diciptakannya sendiri agar merasa bisa beranjak dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan meskipun diam saja di tempat yang sama, orang bisa merasa bergeser ke tempat lain karena waktu membawanya ke sana.” – Sapardi Djoko Damono, Pingkan Melipat Jarak

Kalimat ini terasa sederhana, tapi kalau kamu renungkan lebih dalam, ada makna yang begitu dalam tentang persepsi manusia terhadap waktu. Pingkan dan Sarwono menjalani hubungan jarak jauh—sebuah kondisi yang seringkali memaksa seseorang untuk menciptakan “waktu” versinya sendiri agar merasa tetap terhubung. Pingkan ada di Jepang, Sarwono tertinggal di Indonesia. Keduanya tetap bersama dalam ingatan, meski secara fisik berjarak ribuan kilometer.

Menariknya, dalam realitas hidup, kita pun sering kali melipat jarak seperti Pingkan. Rindu membuat waktu terasa lebih lambat, sementara kesibukan bisa membuat waktu melesat begitu cepat. Waktu bukan sekadar angka di jam tangan; ia adalah konstruksi emosi yang kita bangun sendiri.

Kenangan: Fosil yang Tak Bisa Menjadi Abu

Lalu, ada kutipan lain yang tak kalah menghunjam:

“Kenangan adalah fosil, tidak akan bisa menjadi abu, malah memiliki kekuatan untuk mendikte jarum-jarum jam agar berputar ke kiri.” – Sapardi Djoko Damono, Pingkan Melipat Jarak

Ah, betapa kita semua bisa memahami perasaan ini. Pernahkah kamu merasa terjebak dalam kenangan yang begitu kuat hingga waktu terasa berjalan mundur? Itu yang terjadi pada Pingkan dan Sarwono. Meskipun mereka mencoba melangkah maju, bayangan masa lalu tetap menarik mereka kembali. Kenangan tidak bisa hangus, justru ia bertahan dan membentuk siapa kita hari ini.

Kita semua memiliki “fosil” dalam hidup—kenangan tentang seseorang yang kita cintai, tempat yang pernah menjadi rumah, atau momen yang dulu kita pikir biasa saja tapi kini terasa berharga. Buku ini mengingatkan kita bahwa kenangan tak bisa dihapus, tapi kita bisa memilih bagaimana menyikapinya: apakah kita akan membiarkannya mengatur hidup kita, atau menjadikannya sekadar bagian dari perjalanan?

Ketika Sastra Mengajarkan Kita tentang Hidup

Seperti biasa, Sapardi tidak menyajikan cerita yang hanya berkutat pada peristiwa. Pingkan Melipat Jarak adalah refleksi tentang cinta, waktu, dan ingatan. Kisah Pingkan dan Sarwono seakan menjadi cermin bagi kita yang pernah (atau sedang) menjalani hubungan dengan jarak sebagai tantangan. Lebih dari itu, novel ini juga mengajak kita merenungkan bagaimana kita memaknai perjalanan hidup sendiri.

Dan sekarang, aku ingin bertanya padamu: apakah kamu pernah merasa terjebak dalam kenangan yang tak kunjung pudar? Atau mungkin, kamu sedang berusaha melipat jarak dengan seseorang yang berarti dalam hidupmu? Bagaimana kamu menghadapi waktu yang terkadang terasa begitu lambat, atau malah terlalu cepat?

Mari berbagi cerita—karena, seperti kata Sapardi, waktu dan kenangan adalah milik kita sendiri, dan hanya kita yang bisa menentukannya.


Dapatkan bukunya di sini: Goodreads.com

Baca juga:


 

1 Comment

  1. Hi there, everything is going nicely here and ofcourse every one
    is sharing information, that’s really good, keep up writing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *