Prosa – Kita yang Sedang Bercakap-cakap

kita yang sedang bercakap-cakap

Kita yang Sedang Bercakap-cakap

Di bawah langit yang mulai pudar warnanya, kita duduk berhadapan, di meja tua yang sering menjadi saksi percakapan-percakapan kecil milik kita. Aku, kamu, dan secangkir kopi yang aromanya perlahan meresap di sela-sela udara yang mulai dingin.

“Apa kabar?” tanyamu lirih, seperti biasa, dengan senyum tipis yang kau suguhkan tanpa pernah kutahu apakah itu benar-benar senyum atau sekadar kebiasaan.

Aku diam sejenak, membiarkan kata itu mengambang di udara. “Baik,” jawabku akhirnya, meski kita berdua tahu itu tak sepenuhnya benar. Karena di balik kata baik, ada hari-hari yang kusut dan malam yang sunyi, namun tak pernah kurasa perlu membaginya denganmu.

Lalu kita bercakap-cakap, bukan tentang hal-hal besar, tapi tentang waktu yang berjalan terlalu cepat, atau tentang hujan yang selalu datang tanpa permisi. Kadang kita tertawa, karena entah kenapa selalu ada celah bagi tawa di sela-sela hidup yang terasa penuh kebetulan. Kadang kita diam lama, membiarkan keheningan ikut berbicara untuk kita.

“Kau pernah berpikir tentang apa yang terjadi nanti?” tanyamu tiba-tiba.

Aku menatapmu. Pertanyaan itu menggantung di antara kita, seperti asap dari kopi yang tak juga dingin.

“Entah,” jawabku singkat. “Mungkin kita hanya dua orang yang saling berbagi tempat di waktu yang sama, lalu pergi membawa cerita masing-masing.”

Kau mengangguk pelan, seperti mengerti. Seperti selalu mengerti. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa kita adalah dua teka-teki yang tak ingin sepenuhnya dipecahkan.

Hari itu, percakapan kita selesai dengan diam yang panjang. Namun anehnya, diam itu terasa penuh. Seakan-akan, dalam setiap jedanya, ada sesuatu yang lebih lantang dari kata-kata.

Kita yang sedang bercakap-cakap, adalah kita yang saling memahami bahwa tak semua hal perlu diucapkan. Kadang, cukup ada—cukup duduk bersama, cukup berbagi ruang di antara dunia yang tak selalu ramah.

Dan ketika kita berpisah, aku tahu percakapan itu tak pernah benar-benar selesai. Ia selalu melayang-layang di ingatan, seperti debu yang tak kasatmata. Kelak, ketika kita kembali duduk di meja tua itu, dengan kopi yang mungkin tak lagi panas, kita akan mulai lagi. Bercakap-cakap. Tentang hal-hal kecil, tentang langit, tentang hidup, atau tentang kita—yang selalu sama, namun tak pernah benar-benar sama.

Kendari, 2024


Ilustrasi: Pinterest.com

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *