Prosa – Tangan Waktu

tangan waktu

Tangan Waktu


Waktu adalah pemahat senyap, mengukir setiap momen tanpa pernah berhenti, meninggalkan jejak di jiwa-jiwa yang hidup dan mati.


1. Jejak Tangan Waktu di Langit Senja

Aku selalu membayangkan bagaimana bentuk waktu, hingga akhirnya aku menemukan jawabannya pada setiap pergerakan kecil di dunia ini. Di sudut kamar, jam dinding berdetak perlahan, suara yang begitu akrab namun tak pernah kusadari kehadirannya. Seperti napas yang memudar di antara dua dunia, begitu tenang namun pasti.

Setiap sore, aku suka duduk di dekat jendela, memandang langit senja yang berwarna oranye pudar. Di sana, aku sering melihat waktu menorehkan garis-garis halus pada awan, seperti tangan-tangan yang tak terlihat, menggambar dengan pelan. Sore itu, aku bertanya pada diriku sendiri, Apakah kita ini hanya boneka yang digerakkan oleh tangan waktu?

Namun jawaban itu sulit ditemukan. Ayahku pernah berkata bahwa waktu seperti sungai, mengalir terus menerus tanpa pernah kembali. Tapi bagiku, waktu lebih seperti tangan. Ia membentuk, memeluk, dan kadang melepaskan. Di langit senja itu, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar aliran—ada sentuhan, ada perasaan.

2. Menggapai Tangan Waktu yang Tak Terlihat

Ada hari-hari di mana aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin menyimpannya dalam botol kaca, agar detik-detik itu tak pernah lari dari genggamanku. Aku ingin membekukan saat-saat bahagia, terutama ketika ibuku tersenyum di depan meja makan dengan kue favoritku di tangannya. Namun, seperti pasir yang menggumpal, waktu tak bisa diraih.

Tapi, ada pula saat-saat di mana aku ingin tangan waktu memelukku, memberikan kehangatan di tengah dinginnya kehidupan. Ketika hujan deras menutup pandangan dan aku hanya sendiri di sudut kamar, aku bertanya, Apakah waktu juga merasa lelah seperti aku?

Waktu sering kali terasa seperti musuh. Ketika aku menunggu kabar bahagia yang tak kunjung datang, waktu seolah melambat dengan kejam. Namun, ketika aku ingin menikmati sesuatu lebih lama, ia berlari secepat angin. Aku benci bagaimana waktu bisa begitu tidak adil. Namun di saat yang sama, aku sadar, ia hanya menjalankan tugasnya.

3. Tangan Waktu yang Menyembuhkan Luka

Setiap luka membutuhkan waktu untuk sembuh. Dulu, aku tak percaya kalimat itu. Bagaimana mungkin waktu, sesuatu yang tak berwujud, bisa menyembuhkan rasa sakit? Tapi kemudian, aku menyadari bahwa tangan waktu tidak hanya menciptakan luka; ia juga membalutnya perlahan.

Ada hari-hari di mana aku merasa tak sanggup lagi berdiri. Tapi saat aku melewati hari itu, aku sadar bahwa waktu telah memberikan sesuatu padaku—bukan jawaban, tapi ruang untuk berdamai. Tangan waktu memegangku pelan, memberiku kesempatan untuk menyusun kembali puing-puing yang berantakan.

Tangan waktu, meski kadang menyakitkan, ternyata punya sisi yang lembut. Ia mengajari kita bahwa segala hal bersifat sementara: kebahagiaan, kesedihan, bahkan cinta yang paling dalam sekalipun. Dan dalam kesementaraan itu, kita belajar untuk menghargai.

Epilog

Saat ini, aku masih duduk di dekat jendela, memandang senja yang perlahan berganti malam. Tangan waktu masih bekerja, menggambar takdir di atas langit. Aku tak lagi takut padanya. Aku tahu, meski ia tak pernah berhenti, ia juga tak pernah meninggalkanku.

Waktu adalah teman yang tak bisa kutemui, tapi selalu ada. Dan aku percaya, suatu hari nanti, ketika perjalanan ini berakhir, aku akan bertemu dengannya, dengan tangan-tangannya yang tak terlihat, yang telah membentukku menjadi seperti ini.


Ilustrasi: Pinterest.com

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *