Yang Fana adalah Waktu: Menuntaskan Trilogi Hujan Bulan Juni

yang fana adalah waktu

Yang Fana adalah Waktu: Menuntaskan Trilogi Hujan Bulan Juni

Sapardi Djoko Damono, maestro kata-kata yang sajaknya sering kita dengar, menutup trilogi Hujan Bulan Juni dengan novel Yang Fana adalah Waktu. Jika dua novel sebelumnya—Hujan Bulan Juni dan Pingkan Melipat Jarak—membuka gerbang kisah cinta Pingkan dan Sarwono dengan segala pergulatannya, maka buku ketiga ini adalah muara yang mempertemukan semua rasa: rindu, kehilangan, dan keabadian yang fana.

Melintasi Ruang dan Waktu dalam Narasi Sapardi

Seperti dalam puisi-puisinya, Sapardi kembali membawa kita ke dalam ruang yang penuh dengan keheningan makna. Yang Fana adalah Waktu bukan sekadar kisah cinta yang berakhir bahagia atau tragis, melainkan refleksi tentang waktu itu sendiri—seberapa fana atau abadi perasaan manusia dalam melawan arus kehidupan.

Sarwono, yang dalam novel sebelumnya telah meninggalkan dunia, tetap hadir dalam bentuk kenangan. Sosoknya hidup dalam dialog dan bayangan di benak Pingkan. Sapardi memainkan teknik naratif yang unik: percampuran antara realitas dan imajinasi, kenangan yang tak kunjung usai, dan pertanyaan filosofis tentang keberadaan. Apakah seseorang benar-benar hilang jika masih dikenang? Apakah waktu bisa menghapus jejak cinta?

Gaya Bahasa yang Liris, Tapi Tidak Klise

Kita tahu betul bahwa gaya Sapardi tidak pernah kehilangan daya magisnya. Dalam novel ini, ia tetap setia pada diksi yang sederhana tetapi menggigit. Tak ada drama berlebihan, tak ada eksploitasi emosi yang dipaksakan—semuanya mengalir seperti gerimis di pagi hari, perlahan tetapi menyusup ke dalam hati. Dialog dan monolog dalam novel ini sering kali terasa seperti bait-bait puisi yang menyamar sebagai prosa. Kalimat-kalimatnya seakan mengajak kita berhenti sejenak, merenung, dan membiarkan kata-kata itu meresap.

Konflik Batin yang Lebih Personal

Jika dalam Pingkan Melipat Jarak kita melihat perbedaan budaya dan jarak fisik sebagai tantangan utama, maka dalam Yang Fana adalah Waktu, konfliknya lebih batiniah. Pingkan bergulat dengan kesedihan dan upayanya untuk tetap melangkah. Novel ini seakan ingin berkata bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, tetapi bukan alasan untuk berhenti mencintai.

Sapardi juga menghadirkan karakter-karakter pendukung yang tetap setia mengisi ruang dalam kisah ini. Mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan cerminan bagaimana orang-orang di sekitar kita menghadapi kehilangan dengan caranya masing-masing.

Mengapa Kamu Harus Membaca Novel Ini?

Mungkin kamu bertanya, apakah novel ini hanya untuk mereka yang sudah mengikuti dua buku sebelumnya? Tidak juga. Yang Fana adalah Waktu bisa dinikmati sebagai karya mandiri, meskipun tentu lebih dalam maknanya jika kamu sudah akrab dengan perjalanan Pingkan dan Sarwono.

Bagi kamu yang menyukai kisah cinta yang tidak biasa—bukan sekadar romansa manis, tetapi juga refleksi tentang kehidupan dan kematian—novel ini bisa jadi teman yang tepat. Sapardi tidak memberikan jawaban pasti dalam karyanya, tetapi ia mengajak kita bertanya dan merenung.

Lalu, setelah membaca novel ini, apa yang kamu rasakan? Apakah kamu juga percaya bahwa yang fana hanyalah waktu, sementara rasa dan kenangan tetap abadi? Mari berbagi di kolom komentar!


Dapatkan bukunya di sini: Goodreads.com

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *